Kamis, 16 Desember 2010

Gambaran Guru Profesional

Oleh DR. Hanif Nurcholis, M.Si[1]

UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen menetapkan jabatan guru sebagai pendidik profesional, setingkat dokter, apoteker, lawyer, dan lain-lain. Dilihat dari kompetensinya terdapat empat peringkat kompetensi guru: profesional, tukang ngajar, juru ngajar, dan pramu bahan ajar. Tukang bekerja mengikuti  pola/ model tertentu yang sudah dihafal. Juru bekerja berdasarkan petunjuk atasan untuk mengerjakan pekerjaan teknis. Pramu bekerja berdasarkan perintah atasan untuk menyajikan sesuatu. Sedangkan profesional bekerja berdasarkan lima prinsip kerja profesi: 1) disiplin ilmu yang diperoleh saat mengikuti pendidikan, 2) pelatihan profesi, 3) pengalaman yang panjang dalam melaksanakan tugas profesi, 4) pengembangan profesi melalui forum-forum ilmiah, dan 5) berperilaku sesuai kode etik profesinya.
Jadi, Guru yang mengajar dengan mengikuti pola/ model yang dihafal, ini tukang mengajar. Guru yang mengajar berdasarkan juklak/ juknis atasan, ini juru ngajar. Guru yang mengajar sekedar menyampaikan bahan ajar yang diperintahkan atasannya, ini pramu bahan ajar. Sedangkan Guru profesional adalah guru yang sangat ahli mengembangkan dan mengimplementasikan model pembelajaan yang bermutu dengan berpijak pada lima prinsip kerja profesi tersebut secara mandiri. Cara kerjanya seperti dokter. Dalam bekerja, dokter tidak berdasarkan model/pola tertentu, juklak/juknis, atau perintah direktur rumah sakitnya tapi berdasarkan lima prinsip kerja profesi tersebut secara mandiri. 
Bagaimana kompetensi profesional guru Indonesia? Meskipun saat ini sudah banyak guru yang lulus sertifikasi tapi gambaran komptensi profesional guru saat ini adalah sebagai berikut. Sebagian besar guru bingung ketika diminta mengembangkan Standar Isi dan SKL 2006 menjadi kurikulum operasional/ kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Sebagian besar guru terkaget-kaget ketika diminta mempraktikkan model pembelajaran kreatif-inovatif seperti example non example, picturre and picture, numbered heads together, jigsaw, problem based introduction,  dan lain-lain karena hanya mahir menggunakan dua metode: ceramah dan tugas/PR. Sebagian besar guru tidak mengerti menggunakan penilaian autentik, authentic assessment, dalam penilaian KTSP: portofolio, produk, kinerja, proyek, dan pengamatan disertai rubriknya, karena hanya tahu teknik tes obyektif untuk semua kompetensi dasar (KD). Dan sebagian besar guru menyerah ketika diminta membuat karya ilmiah. Padahal semua itu adalah pekerjaan pokoknya.
Gambaran komptensi guru seperti itu menunjukkan bahwa guru kita jauh dari profesional. Peringkat komptensi mereka antara tukang - pramu. The World Competitiveness Score Board  melaporkan bahwa peringkat kualitas guru Indonesia berada pada urutan ke-59 dengan score 33,81 sedangkan Malaysia pada peringkat ke-28 dengan score 65,88. Hal tersebut paralel dengan hasil tes umum untuk guru TK/SD rata-rata 34,26 sedangkan di luar guru TK/SD rata-rata 40,15 dan khusus untuk nilai matematika dan sains rata-rata 13,24-22,33 (Kompas, 27-10-2009).
Meskipun demikian, guru tidak bisa disalahkan! Mereka adalah korban kebijakan pemerintah. Pemerintah mencetak guru melalui LPTK. Pemerintah tidak menyiapkan LPTK sebagai lembaga pencetak guru profesional. LPTK disiapkan untuk mencetak tukang ngajar,  juru ngajar, atau pramu bahan ajar saja. Hal ini terlihat dari kurikulum dan model pembelajarannya. Kurikulum LPTK sarat didaktik-metodik, kosong subject matter. Model pembelajarannya hanya hafalan konsep dan teori didaktik-metodik. Mahasiswa pendidikan IPA S1 misalnya, tidak diberi materi sains level sarjana tapi hanya diberi materi metode mengajar IPA SMP/SMA/SMK dengan content sains IPA level SMA/SMP/SMK pula. Dengan demikian, mahasiswa tersebut ilmu sainsnya tak bertambah: sama dengan waktu duduk di SMA/SMK. Ia hanya mendapat tambahan ilmu metode pengajaran sains. Kemudian model penilaiannya tidak dengan teknik authentic assessment tapi dengan pencil and paper test yang hanya mengukur tingkat hafalan konsep dan teori didaktik-metodik, bukan mengukur kompetensi implementasi didaktik-metodik.
Mahasiswa memang diwajibkan praktik mengajar tapi praktikum ini asal-asalan saja karena tidak disupervisi dan dinilai oleh asesor profesional. Praktikum diserahkan sepenuhnya kepada guru pamong yang dicomot dari guru tempat praktikum. Hal ini  sangat jauh berbeda dengan mahasiswa kedokteran yang melakukan  co-ass. Mahasiswa kedokteran yang co-ass benar-benar diuji kompetensi profesi dokternya dengan penilaian berbasis kompetensi dokter dengan indikator-indikator terukur oleh asesor profesional.
Dengan kurikulum dan model pembelajaran LPTK seperti ini sudah dapat ditebak bahwa lulusannya tidak mampu mengembangkan dan mengimplementasikan model pembelajaran yang bermutu karena dua hal: 1) penguasaan materinya hanya selevel SMA/SMK dan 2) ilmu metodiknya tidak fungsional karena tidak kompeten mengimplementasikannya. Umumnya lulusannya mengajar dengan penguasaan materi pas-pasan dan dengan metode mengajar konvensional turun temurun yang diperoleh dari pengalamannya ketika sekolah dulu, bukan berdasarkan ilmu didaktik-metodik yang diperoleh di bangku kuliah. Mereka kalah hebat dengan instruktur bimbingan belajar alumni non LPTK.   
Sesuai dengan amanat UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas guru dicetak dalam lembaga pendidikan profesi guru (PPG). Untuk itu, Pemerintah jangan hanya megganti LPTK lama dengan baju baru PPG. Pemerintah harus benar-benar menyiapkan PPG sebagai pencetak guru profesional yang berbeda secara substansial dengan LPTK.
Untuk menjadikan PPG sebagai pencetak guru profesional maka pemerintah harus menetapkan dua hal: 1) persyaratan mahasiswa dan 2) kurikulum dan model pembelajaran. Mahasiswa harus diambil dari sarjana (S1) ilmu murni dengan seleksi yang ketat. Sedangkan kurikulum dan model pembelajarannya harus berbasis kompetensi profesi guru. Jangan berbasis materi keguruan dan kependidikan seperti di LPTK saat ini. Proses pembelajarannya harus berupa pemberian pengalaman belajar berdasarkan ilmu didaktik-metodik, bukan disuruh menghafal konsep dan teori didaktik-metodik. Kemudian asesmennya jangan hanya dengan model paper and pencil test dan pengamatan ala kadarnya oleh guru pamong saat praktik mengajar tapi harus dengan uji kompetensi profesi guru dengan teknik penilaian produk dan kinerja oleh asesor profesional. Jadi, persis seperti calon dokter yang co-ass.
Selanjutnya PPG hanya memberikan sertifikat profesi guru kepada mahasiswa yang lulus uji kompetensi profesi guru yang dilakukan oleh asesor profesional secara ketat seperti calon dokter yang diuji oleh dokter senior yang juga dosen saat co-ass.  Jika demikian cara Pemerintah menyiapkan PPG maka akan lahir guru profesional di negeri tercinta.



[1]  Attikel ini sudah dimuat di koran sore Wawasan Semarang