Minggu, 11 Desember 2011

MENCETAK GURU PROFESIONAL


BAGAIMANA MENCETAK GURU PROFESIONAL?

Oleh DR. Hanif Nurcholis, M.Si[1]

UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen menetapkan jabatan guru sebagai pendidik profesional, setingkat dokter, apoteker, lawyer, dan lain-lain. Dilihat dari kompetensinya terdapat empat peringkat kompetensi guru: profesional, tukang ngajar, juru ngajar, dan pramu bahan ajar. Tukang bekerja mengikuti  pola/ model tertentu yang sudah dihafal. Juru bekerja berdasarkan petunjuk atasan untuk mengerjakan pekerjaan teknis. Pramu bekerja berdasarkan perintah atasan untuk menyajikan sesuatu. Sedangkan profesional bekerja berdasarkan lima prinsip kerja profesi: 1) disiplin ilmu yang diperoleh saat mengikuti pendidikan, 2) pelatihan profesi, 3) pengalaman yang panjang dalam melaksanakan tugas profesi, 4) pengembangan profesi melalui forum-forum ilmiah, dan 5) berperilaku sesuai kode etik profesinya.
Jadi, Guru yang mengajar dengan mengikuti pola/ model yang dihafal, ini tukang mengajar. Guru yang mengajar berdasarkan juklak/ juknis atasan, ini juru ngajar. Guru yang mengajar sekedar menyampaikan bahan ajar yang diperintahkan atasannya, ini pramu bahan ajar. Sedangkan Guru profesional adalah guru yang sangat ahli mengembangkan dan mengimplementasikan model pembelajaan yang bermutu dengan berpijak pada lima prinsip kerja profesi tersebut secara mandiri. Cara kerjanya seperti dokter. Dalam bekerja, dokter tidak berdasarkan model/pola tertentu, juklak/juknis, atau perintah direktur rumah sakitnya tapi berdasarkan lima prinsip kerja profesi tersebut secara mandiri. 
Bagaimana kompetensi profesional guru Indonesia? Meskipun saat ini sudah banyak guru yang lulus sertifikasi tapi gambaran komptensi profesional guru saat ini adalah sebagai berikut. Sebagian besar guru bingung ketika diminta mengembangkan Standar Isi dan SKL 2006 menjadi kurikulum operasional/ kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Sebagian besar guru terkaget-kaget ketika diminta mempraktikkan model pembelajaran kreatif-inovatif seperti example non example, picturre and picture, numbered heads together, jigsaw, problem based introduction,  dan lain-lain karena hanya mahir menggunakan dua metode: ceramah dan tugas/PR. Sebagian besar guru tidak mengerti menggunakan penilaian autentik, authentic assessment, dalam penilaian KTSP: portofolio, produk, kinerja, proyek, dan pengamatan disertai rubriknya, karena hanya tahu teknik tes obyektif untuk semua kompetensi dasar (KD). Dan sebagian besar guru menyerah ketika diminta membuat karya ilmiah. Padahal semua itu adalah pekerjaan pokoknya.
Gambaran komptensi guru seperti itu menunjukkan bahwa guru kita jauh dari profesional. Peringkat komptensi mereka antara tukang - pramu. The World Competitiveness Score Board  melaporkan bahwa peringkat kualitas guru Indonesia berada pada urutan ke-59 dengan score 33,81 sedangkan Malaysia pada peringkat ke-28 dengan score 65,88. Hal tersebut paralel dengan hasil tes umum untuk guru TK/SD rata-rata 34,26 sedangkan di luar guru TK/SD rata-rata 40,15 dan khusus untuk nilai matematika dan sains rata-rata 13,24-22,33 (Kompas, 27-10-2009).
Meskipun demikian, guru tidak bisa disalahkan! Mereka adalah korban kebijakan pemerintah. Pemerintah mencetak guru melalui LPTK. Pemerintah tidak menyiapkan LPTK sebagai lembaga pencetak guru profesional. LPTK disiapkan untuk mencetak tukang ngajar,  juru ngajar, atau pramu bahan ajar saja. Hal ini terlihat dari kurikulum dan model pembelajarannya. Kurikulum LPTK sarat didaktik-metodik, kosong subject matter. Model pembelajarannya hanya hafalan konsep dan teori didaktik-metodik. Mahasiswa pendidikan IPA S1 misalnya, tidak diberi materi sains level sarjana tapi hanya diberi materi metode mengajar IPA SMP/SMA/SMK dengan content sains IPA level SMA/SMP/SMK pula. Dengan demikian, mahasiswa tersebut ilmu sainsnya tak bertambah: sama dengan waktu duduk di SMA/SMK. Ia hanya mendapat tambahan ilmu metode pengajaran sains. Kemudian model penilaiannya tidak dengan teknik authentic assessment tapi dengan pencil and paper test yang hanya mengukur tingkat hafalan konsep dan teori didaktik-metodik, bukan mengukur kompetensi implementasi didaktik-metodik.
Mahasiswa memang diwajibkan praktik mengajar tapi praktikum ini asal-asalan saja karena tidak disupervisi dan dinilai oleh asesor profesional. Praktikum diserahkan sepenuhnya kepada guru pamong yang dicomot dari guru tempat praktikum. Hal ini  sangat jauh berbeda dengan mahasiswa kedokteran yang melakukan  co-ass. Mahasiswa kedokteran yang co-ass benar-benar diuji kompetensi profesi dokternya dengan penilaian berbasis kompetensi dokter dengan indikator-indikator terukur oleh asesor profesional.
Dengan kurikulum dan model pembelajaran LPTK seperti ini sudah dapat ditebak bahwa lulusannya tidak mampu mengembangkan dan mengimplementasikan model pembelajaran yang bermutu karena dua hal: 1) penguasaan materinya hanya selevel SMA/SMK dan 2) ilmu metodiknya tidak fungsional karena tidak kompeten mengimplementasikannya. Umumnya lulusannya mengajar dengan penguasaan materi pas-pasan dan dengan metode mengajar konvensional turun temurun yang diperoleh dari pengalamannya ketika sekolah dulu, bukan berdasarkan ilmu didaktik-metodik yang diperoleh di bangku kuliah. Mereka kalah hebat dengan instruktur bimbingan belajar alumni non LPTK.   
Sesuai dengan amanat UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas guru dicetak dalam lembaga pendidikan profesi guru (PPG). Untuk itu, Pemerintah jangan hanya megganti LPTK lama dengan baju baru PPG. Pemerintah harus benar-benar menyiapkan PPG sebagai pencetak guru profesional yang berbeda secara substansial dengan LPTK.
Untuk menjadikan PPG sebagai pencetak guru profesional maka pemerintah harus menetapkan dua hal: 1) persyaratan mahasiswa dan 2) kurikulum dan model pembelajaran. Mahasiswa harus diambil dari sarjana (S1) ilmu murni dengan seleksi yang ketat. Sedangkan kurikulum dan model pembelajarannya harus berbasis kompetensi profesi guru. Jangan berbasis materi keguruan dan kependidikan seperti di LPTK saat ini. Proses pembelajarannya harus berupa pemberian pengalaman belajar berdasarkan ilmu didaktik-metodik, bukan disuruh menghafal konsep dan teori didaktik-metodik. Kemudian asesmennya jangan hanya dengan model paper and pencil test dan pengamatan ala kadarnya oleh guru pamong saat praktik mengajar tapi harus dengan uji kompetensi profesi guru dengan teknik penilaian produk dan kinerja oleh asesor profesional. Jadi, persis seperti calon dokter yang co-ass.
Selanjutnya PPG hanya memberikan sertifikat profesi guru kepada mahasiswa yang lulus uji kompetensi profesi guru yang dilakukan oleh asesor profesional secara ketat seperti calon dokter yang diuji oleh dokter senior yang juga dosen saat co-ass.  Jika demikian cara Pemerintah menyiapkan PPG maka akan lahir guru profesional di negeri tercinta.



[1]  Dosen Universitas Terbuka Jakarta dan pemerhati pendidikan. 

PENDIDIKAN KARAKTER BISA GAGAL LAGI
Dr. Hanif Nurcholis,M.Si
hanif@ut.ac.id



A.     PENDAHULUAN
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Mei 2011 bersamaan dengan Hari Pendidikan Nasional mencanangkan pendidikan budaya dan karakter bangsa bagi peserta didik di Indonesia. Berdasarkan kebijakan tersebut saat ini semua satuan pendidikan mulai dari TK sampai perguruan tinggi terjadi demam pendidikan karakter. Para pejabat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan ceramah, penataran, dan pelatihan pendidikan karakter kepada pejabat dinas pendidikan daerah provinsi dan kabupaten/kota, kepala sekolah, dan guru. Di daerah pejabat dinas pendidikan juga melakukan hal yang sama. Kepala sekolah dan guru mencoba mengimplementasikan kebijakan pendidikan karakter di sekolah masing-masing.

Sebenarnya pendidikan karakter sudah dilaksanakan oleh pemerintah sejak awal kemerdekaan. Akan tetapi, pendidikan karakter yang terumuskan secara sistematis dan diselenggarakan secara masif dimulai pada awal 1960-an ketika Presiden Soekarno mengeluarkan MANIPOL USDEK (Manifesto Politik: UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). MANIPOL USDEK dijadikan dasar pembentukan karakter bangsa yang sangat terkenal dengan istilah nation character building.

Sejak dikeluarkannya MANIPOL USDEK maka dimulailah program pendidikan karakter bangsa melalui program indoktrinasi massal. Progam nation character building ini berhenti ketika pemerintahan Soekarno jatuh akibat G30S/PKI tahun 1965. Presiden Soeharto yang mengantikan Presiden Soekarno kemudian membuat kebijakan pendidikan karakter dengan nama Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). PMP ditujukan untuk pembentukan karakter siswa di sekolah agar siswa berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sedangkan Penataran P4 ditujukan kepada masyarakat luas agar masyarakat berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Pendidikan karakter yang telah dilakukan oleh pemerintah baik dalam model nation character building mampun model PMP/P4 tidak membawa dampak signifikan pada terbentuknya karakter bangsa. Sampai pada 67 usia kemerdekaan bangsa Indonesia indeks pembangunan manusia (IPM) pada 2011 ini peringkatnya di bawah Singapura, Brunai, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Bangsa Indonesia mempunyai peringkat tertinggi dalam indeks korupsi. Mental bangsa Indonesia sebagaimana digambarkan oleh Koentjaraningrat dan Mochtar Lubis sebagai bangsa yang tidak mau kerja keras, beretos rendah, suka menerabas, tidak menghargai waktu, berpikir dan bertindak jangka pendek, dan munafik tidak banyak berubah sampai sekarang.

Tulisan ini menyoroti substansi pendidikan karakter, tujuan, dan metode pembelajarannya. Substansi pendidikan karakter harus benar dan tujuannya juga harus untuk membentuk karakter peserta didik. Di samping itu, pendidikan karakter harus menggunakan model pembelajaran yang benar.

B.     GAGASAN DAN PRAKTIK PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA
Pendidikan karakter telah digagas dan dipraktikan oleh tokoh-tokoh bangsa sebelum berdirinya negara Indonesia. Beberapa di antaranya adalah,
1)     KH. Ahmad Dahlan menggagas dan mempraktikkan di perguruan Muhammadiyah;
2)     KH. Hasyim Asy’ari menggagas dan mempraktikkan di Pondok pesantren  Tebu Ireng, Jombang,  Jawa Timur;
3)     Ibrahim Musa menggagas dan mempraktikkan di perguruan Thuwailib Sumatera Barat;
4)     Ki Hajar Dewantara menggagas dan mempraktikkan di perguruan Taman Siswa;
5)     Moch. Syafii menggagas dan mempraktikkan di Institut Kayu Taman;
6)     KH. Imam Zarkasyi menggagas dan mempraktikkan di Pondok Modern Gontor Ponorogo, Jawa Timur;
7)     Dan lain-lain.

Para tokoh melalui perguruan yang didirikan berhasil mencetak anak bangsa yang mempunyai karakter mulia. Perguruan Muhammadiyah berhasil membentuk karakter mulia kepada anak asuhnya, di antaranya adalah Panglima Besar Jenderal Soedirman yang terkenal jujur dan tegas, Jenderal Sarbini yang terknal jujur dan tegas, dan Jenderal Besar Soeharto yang pemberani dan tegas. Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang berhasil mencetak alumninya yang agamis, mandiri, dan berani membela kebenaran. Di antaranya adalah KH. Wahid Hasyim, KH. Wahab Hasbullah, Sjaefudin Zuhri, dan KH. Achmad Sjaikhu. Perguruan Thuwailib berhasil mencetak tokoh besar yang berkarakter tinggi di antaranya Mahmud Yunus dan KH. Zarkasyi pendiri Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo. Perguruan Taman Siswa berhasil mencetak anak bangsa yang nasionalis dan jujur . Institur Kayu Taman berhasil mencetak alumninya yang mandiri. Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo berhasil mencetak alumninya yang jujur, sederhana, gigih berjuang, dan memiliki cara berpikir bebas. Di antaranya adalah Nurcholis Madjid, Emha Ainun Najib, Din Syamsudin, dan Hasyim Mujadi.

Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, pendidikan karakter menjadi kebijakan negara yang dituangkan dalam Undang-Undang. Sejak merdeka sampai sekarang (2011) telah berlaku Undang-Undang tentang pendidikan sebagai berikut.
1.         UU No. 4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah
2.         UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
3.         UU No 20 Tahun 2003 tentang  Sistem Pendidikan Nasional.
Akan tetapi, yang menarik di samping menjadi kebijakan negara yang dituangkan dalam Undang-Undang, pendidikan karakter juga dijadikan kebijakann politik regim. Berikut adalah pendidikan karakter sebagai kebijakan politik regim.
  1. Pendidikan karakter yang dikenal dengan Nation Character Building oleh Orde Lama;
  2. Pendidikan karakter yang dikenal dengan Pendidikan Moral Pancasilan (PMP) dan Pedoman Penghayatan dan Pengamalam Pancasila (P-4) oleh Orde Baru;
  3. Pendidikan karakter yang dikenal dengan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa oleh regim SBY di bawah Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh.

C.      SUBSTANSI DAN MODEL PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PROGRAM NATION CHARACTER BUILDING  ZAMAN ORDE LAMA

Presiden Soekarno mengeluarkan Manifesto Politik yang isinya kembali kepada UUD 1945, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian Indonesia yang disingkat dengan Manipol USDEK. Manipol USDEK berisi visi bangsa Indonesia yaitu terciptanya masyarakat adil dan makmur (sosialis) yang untuk mencapainya menggunakan sistem politik dan ekonomi terpimpin dan berpijak pada kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Agar kebijakan ini dimengerti oleh seluruh rakyat Indonesia maka pemerintah melakukan penerangan kepada seluruh penduduk dengan model indoktrinasi dan sosialisasi. Bentuknya berupa ceramah/pidato kepada pejabat, pelajar, mahasiswa, dan pemuda; penempelan pamflet-pamflet; dan penulisan kata “USDEK” pada setiap genteng rumah penduduk. Materi indoktrinasi dihimpun dalam tujuh bahan pokok indoktronisasi yang disingkat Tubapi. Tubapi berisi, 1) Lahirnya Pancasila; 2) UUD 1945; 3) Manifesto Politik Republik Indonesia; 4) Djarek (jalannya revolusi kita); 5) Membangun Dunia Kembali; 6) Manipol Usdek; dan 7) Amanat Presiden tentang Pembangunan Semesta Berencana.

Dalam rangka indoktrinasi tersebut pemerintah mendidik calon-calon indoktriner melalui program pendidikan dan pelatihan secara sistematis dan dengan disiplin ketat. Calon indoktriner diambil dari pejabat pemerintah, guru, dosen, pimpinan partai politik, alim ulama dan pemimpin agama non Islam, tokoh pemuda, tokoh wanita, pengusaha, dan tokoh-tokoh masyarakat. Materi pokok dalam  pendidikan dan pelatihan adalah tujuh bahan pokok indoktrinasi tersebut ditambah dengan pidato-pidato Presiden Soekarno yang disampaikan pada setiap 17 Agustus dan kesempatan lain. Peserta juga diberi pelatihan seni berpidato, propaganda, dan retorika.

Dalam program indoktrinasi tersebut metode yang digunakan adalah ceramah dalam bentuk pidato. Di sini yang dijadikan role model adalah Presiden Soekarno yang berpidato dengan penuh retorik: menggelegar, penuh semangat, dan berapi-api. Calon indoktriner dilatih agar bisa berpidato sebagaimana Presiden Soekarno berpidato. Oleh karena itu, setiap calon indoktriner berlatih dan mematut-matut diri menjadi “Soekarno Kecil”. Setiap calon indoktriner berusaha meniru gaya, retorika, intonasi, pilihan kata, gerak, dan gesture Presiden Soekarno.

Calon indoktriner yang dinyatakan lulus pendidikan dan pelatihan kemudian diterjunkan ke masyarakat sesuai dengan lingkungannya. Para pejabat kemudian melakukan indoktrinasi kepada bawahannya. Guru dan dosen memberikan indoktrinasi kepada murid dan mahasiswa. Pimpinan partai politik memberikan indoktrinasi kepada anggota partainya. Alim ulama dan pemimpin agama non Islam memberikan indoktrinasi kepada umat atau jamaahnya. Demikian pula yang berasal dari tokoh pemuda, tokoh wanita, dan pengusaha. Mereka melakukan indoktrinasi kepada PNS, murid dan mahasiswa, dan semua lapisan masyarakat  dengan metode ceramah/pidato yang berapi-api dan provokatif.

Di sekolah, guru yang ditunjuk sebagai indoktriner/penatar menjadi “Soekarno Kecil” ketika mengajar. Ia tidak hanya mengajarkan materi pelajaran tapi juga memasukkan nilai-nilai yang terkandung dalam Tubapi ditambah dengan lagu-lagu revolusioner seperti lagu Tujuh Belas Agustus, Garuda Pancasila, Halo-Halo Bandung, Resopim (Revolusi, Sosialisme, dan Pimpinan Nasional), dan Nasakom (Nasioanalis, Agamawan, dan Komunis). Dua lagu terakhir karya Subronto K Atmodjo wajib dinyanyikan pada setiap upacara bendera Senin. Perhatikan lirik dua lagu tersebut.

RESOPIM
Re-so-pim, re-so-pim, revolusi Agustus ’45
Re-so-pim, re-so-pim
Sosialisme di tangan negara
Kita tuntut pimpinan yang jujur
Rakyat harus hidup adil makmur
Re-so-pim, re-so-pim
Maju, maju, re-so-pim

NASAKOM BERSATU
Acungkan tinju kita
Satu padu (bersatu)
Bulat semangat kita
Hayo terus maju
Nasakom jiwaku
Singkirkan kepala batu
Nasakom satu cita
Sosialisme pasti jaya

Di perguruan tinggi demikian pula. Birokrat kampus dan dosen mendoktrin mahasiswa tentang MANIPOL USDEK yang materinya diambil dari Tubapi. Civitas akademika dipaksa menerima materi nonilmiah dalam rangka ideologisasi. Mahasiswa dan anggota civitas akademika lainnya yang bersuara kritis mendapat tekanan dan intimidasi. Saat itu, suasana kampus menjadi sangat ideologis, jauh dari suasana ilmiah. PNI dan PKI memegang hegemoni ideologi di kampus-kampus utama.

Pada organisasi mahasiswa ekstra kampus khususnya GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasisonal Indonosia) yang berafiliasi ke PNI dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang berafiliasi ke PKI melakukan indoktrinasi secara internal di bawah mentor-mentor partai masing-masing. Di kalangan masyarakat hanya PNI dan PKI yang melaksanakan indoktrinasi secara sistematis kepada anggota dan simpatisannya sedangkan partai politik dan organisasi massa di luar PNI dan PKI kurang antusias. Partai dan ormas Islam tidak semangat menjalankan indoktrinasi kepada anggota dan simpatisannya bahkan diam-diam melakukan perlawanan terhadap program indoktrinasi tersebut karena dinilai justeru menguntungkan PKI dan membahayakan Islam.

Dengan program indoktrinasi tersebut para pelajar, mahasiswa, remaja, pemuda, dan anggota masyarakat menjadi bersikap dan berperilaku ideologis, fanatik, dan militan. Mereka fanatik terhadap ideologi baru yang bernama MANIPOL USDEK dan menjadi pembelanya. Karena ideologi baru tersebut dilawankan dengan musuh-musuh ideologi yang diidentifikasi dengan Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperalisme), Nasakom Palsu, dan Kaum Kepala Batu maka mereka sangat membenci dan siap melawan terhadap kekuatan-kekuatan yang dianggap sebagai musuh ideologi tersebut. Mereka mudah dihasut dan dimobilisir untuk kepentingan politik penguasa dan kekuatan politik yang memboncengnya.

Pendidikan karakter dalam proyek nation character building tersebut melahirkan pelajar, mahasiswa, remaja, pemuda, dan anggota masyarakat ideologis, fanatik, dan militan yang cenderung radikal. Karakter bangsa yang lahir dari proyek nation character building adalah karakter ideologis yang ekspresinya adalah sikap dan perilaku anak bangsa yang nasionalistik, bukan sikap dan perilaku humanistik. Bahkan doktrin nasionalisme sempit melahirkan fanatisme dan radikalisme dalam jiwa anak bangsa yang bertentangan dengan nilai dan sikap humanisme. Misal, sebagian rakyat yang menjadi sukarelawan dalam rangka memenuhi tiga komando rakyat (TRI KORA) untuk membebaskan Irian Barat dan dua komando rakyat (DWI KORA) untuk membebaskan Malaysia yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno, melakukan kekerasan mental dan fisik kepada teman-temannya yang tidak ikut mendaftarkan diri sebagai sukarelawan. Para sukarelawan memberi cap kepada mereka sebagai antek Nekolim, kaki tangan Amerika-Inggris, dan Kontrev (kontra revolusi) sambil melakukan teror mental dan fisik.

D.     SUBSTANSI DAN MODEL PENDIDIDIKAN KARAKTER DALAM PROGRAM PMP DAN P4 ZAMAN ORDE BARU

Regim Orde Baru yang menggantikan Orde Lama mencanangkan pendidikan karakter kembali dengan model Pendidikan Moral Pancasila (PMP) untuk pelajar dan mahasiswa dan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) untuk masyarakat luas. PMP masuk sebagai mata pelajaran/mata kuliah wajib mulai 1976 sebagai pengganti mata pelajaran/mata kuliah Civics (Kewarganegaraan). Sejak tahun pelajaran 1976/1977 semua peserta didik dari SD sampai perguruan tinggi mendapatkan pelajaran PMP yang berisi nilai-nilai humanisme universal yang dijustifikasi sebagai nilai-nilai yang bersumber dari Pancasila.

Materi pelajaran PMP terdiri atas Pancasila/P-4, UUD 1945, dan GBHN dikemas dalam bentuk bahan ajar dan diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Pancasila diuraikan sebagai Pandangan Hidup, Jiwa, dan Kesadaran Bangsa, Dasar Negara, Cita-Cita Bangsa, dan Perjanjian Luhur Bangsa Indonesia. Di samping itu, juga dibangun doktrin baru tentang lahirnya Pancasila. Kelahiran Pancasila  bukan pada 1 Juni 1945 sebagaimana didoktrinkan Orde Lama tapi 18 Agustus 1945. Sebagai pembentukan moral/karakter bangsa, Pancasila dijabarkan dalam P4 yang merupakan penguraian atas sila-sila Pancasila menjadi butir-butir pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila. UUD 1945 diajarkan sebagai UUD yang tidak boleh dirubah oleh siapapun, termasuk oleh MPR. Dalam konteks ketidakkonsistenan bangsa Indonesia terhadap UUD 1945 dijelaskan bahwa ketika bangsa Indonesia tidak melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen pada tahun 1945 dan masa Orde Lama, negara menjadi tidak stabil sehingga tidak bisa membangun. GBHN diajarkan sebagai blue print ideal bangsa Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur melalui lima tahapan pembangunan lima tahunan.

Materi PMP ditulis dalam buku teks pelajaran wajib mulai dari SD, SLTA, dan SLTA. Materi untuk perguruan tinggi menggunakan kompilasi dari berbagai referensi di bawah payung mata kuliah Pendidikan Pancasila. Metode yang digunakan dalam pembelajaran PMP adalah ceramah dan tanya jawab. Butir-butir Pancasila dan nilai-nilai kemanusiaan diajarkan sebagaimana pengajaran sains yang selalu dimulai dengan definisi konsep. Setelah definisi konsep, diteruskan dengan contoh dan noncontoh sebagai kasus yang terkait dengan konteks nilai yang diajarkan. Peserta didik diminta menghafal butir-butir Pancasila dan menarik kesimpulan atas kasus yang diajukan. Di sini, sudah berang tentu peserta didik mengambil kesimpulan dengan mengacu pada nilai positif. Evaluasi formatif dan sumatif dilakukan dengan teknik tes tertulis pilihan ganda. 

Dua tahun kemudian MPR mengeluarkan TAP MPR RI No.II/MPR/1978 tentang P-4 atau Sapta Prasetya Panca Karsa. Berdasarkan TAP MPR No. II tersebut pemerintah kemudian membentuk Lembaga Pemerintah Non Departemen yang disebut Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila disingkat BP-7 dengan surat Keputusan Presiden No.10 Tahun 1979 di pusat dengan cabang-cabang di Propinsi dan Kabupaten/Kotamadya. Melalui BP7, pemerintah menyelenggarakan penataran P4 kepada semua anggota masyarakat.

Muatan penataran P4 sama dengan pelajaran PMP ditambah dengan materi tentang kesinambungan pembangunan nasional, kepemimpinan nasional, dwi fungsi ABRI, dan partai politik dan golongan karya. Bahkan materi tentang kesinambungan pembangunan nasional, kepemimpinan nasional, dwi fungsi ABRI, dan partai politik dan golongan karya menjadi inti penataran P4. Materi P4 yang berisi butir-butir dari kelima sila Pancasila lebih sebagai ceramah tentang nilai kebajikan yang diklaim sebagai nilai-nilai Pancasila dan diharapkan bangsa Indonesia berperilaku sesuai dengan nilai-nilai ini.

Penataran P4 dilakukan oleh para manggala yang telah ditatar oleh BP7 Pusat. Para manggala kemudian menatar pejabat pada instansi masing-masing dengan ketentuan sebagai berikut. Para pegawai golongan IV dan III mengikuti penataran P-4 tipe A yang diselenggarakan sekitar dua minggu, pegawai golongan II mengikuti tipe B yang berlangsung sekitar satu minggu, dan golongan I mengikuti tipe C selama empat hari. Dalam waktu sekitar dua tahun hampir seluruh pegawai negeri telah mengikuti penataran P-4.

Setelah semua PNS mengikuti penataran P4 pemerintah kemudian melakukan penataran P4 kepada masyarakat luas. Pola penataran kepada masyarakat ini terdiri atas,
a)     Pola 120 jam/ pola 144 jam, bagi calon penatar yang akan bertugas di BP-7 daerah tingkat I maupun tingkat II, dan bagi tokoh-tokoh masyarakat dan pimpinan organisasi;
b)     Pola 45 jam, bagi kader-kader organisasi kemasyarakatan;
c)      Pola 25 jam bagi masyarakat pada umumnya;
d)     Pola 100 jam bagi mahasiswa yang baru masuk perguruan tinggi;
e)     Pola 45 jam bagi murid klas 1 SLTA;
f)       Pola 25 jam untuk murid klas 1 SLTP.

Metode yang digunakan dalam penataran P4 adalah peserta dikumpulkan dalam kelas besar. Dalam kelas besar ini peserta menerima materi dalam bentuk ceramah umum. Pendalaman materi Pancasila, UUD 1945, Sistem Pemerintahan Indonesia, GBHN, Kepemimpinan Nasional, dan  Kelanjutan Pembangunan dilakukan dalam kelas-kelas kecil. Dalam kelas-kelas ini materi didiskusikan dan dibahas secara intensif. Penilaian dilakukan dengan cara tes tertulis pilihan ganda dan tanya jawab/interview. Pada akhir penataran/penutupan, panitia mengumumkan 10 besar peserta terbaik.

Kebijakan pendidikan karakter di bawah program PMP dan penataran P4 itu dapat dibaca sebagai bagian dari politisasi, dalam makna negatif. Politik pendidikan tersebut sama dengan proyek nation character building era Soekarno yang berorientasi pada indoktrinasi Pancasila dalam tafsir tunggal pemerintah. Di samping itu, politik pendidikan Pancasila melalui proyek PMP dan P4 juga mempunyai agenda besar: pelanggengan kekuasaan Orde Barau melalui politik hegemoni, menguasasi pola pikir rakyat agar sesuai dengan kehendak penguasa.
Hegemony is the dominance of one group over other groups, with or without the threat of force, to the extent that, for instance, the dominant party can dictate the terms of trade to its advantage; more broadly, cultural perspectives become skewed to favor the dominant group. Hegemony controls the ways that ideas become “naturalized” in a process that informs notions of common sense (http://en.wikipedia.org/wiki/Hegemony).

Melalui PMP dan penataran P-4 penguasa membentuk pola pikir rakyat. Pola pikir rakyat yang ingin dibentuk adalah bahwa butir-butir Pancasila merupakan acuan nilai tertinggi bagi bangsa Indonesia, Orde Baru dengan konsep dwifungsi ABRI-nya, Pemilu yang diikuti oleh dua partai politik dan Golongan Karya, demokrasi Pancasila yang berbasiskan musyawarah mufakat, pengangkatan anggota ABRI di MPR, DPR, DPRD, dan Kepala Daerah, keharusan PNS menyalurkan aspirasi politiknya kepada Golkar, dan pembangunan akan terus berlanjut manakala pemerintahan dipegang oleh regim Orde Baru semuanya adalah benar dan merupakan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dengan demikian, PMP dan penataran P-4 lebih merupakan kebijakan strategi politik hegemonik daripada strategi pendidikan karakter bangsa. Frase pendidikan moral lebih merupakan justifikasi etis agar semua pihak menerima atas dasar pertimbangan etik/moral.

Karena PMP dan penataran P-4 lebih sebagai kebijakan strategi politik hegemonik maka hasilnya adalah sikap dan perilaku bangsa yang loyal terhadap regim dan nyaman terhadap sistem pemerintahan model Orde Baru. Pendidikan moral yang merupakan justifikasi etis hanya sebagai standar moral dan etika penguasa, bukan menjadi acuan perilaku anak bangsa. Standar moral dan etika penguasa yang diklaim sebagai kristalisasi nilai-nilai Pancasila yang dirumuskan dalam butir-butir Pancasila/P-4 akhirnya dijadikan alat penguasa dan rakyat yang telah terhegomni untuk menstigma perilaku orang atau kelompok yang tidak sejalan dengan standar moral dan etika tersebut. Pejabat dan rakyat yang telah terhegomoni ketika melihat orang atau kelompok orang melakukan tindakan yang dianggap tidak sesuai dengan butir-butir P-4 yang telah dihafal menyuruh orang atau kelompok itu mengikuti penataran P-4. Contoh, Kepala SPG N Demak dalam upacara bendera Senin pada tahun 1980-an menyampaikan amanat bahwa orang-orang Demak itu masih saja belum menghayati dan mengamalkan Pancasila (P-4) karena hanya bisa membaca Alquran, tidak hafal Pancasila dan UUD 1945 dan perilakunya tidak mencerminkan butir-butir P-4. Oleh karena itu, orang-orang Demak perlu ditatar P-4. Contoh lain, seseorang yang saya yakini PNS (karena berbaju Korpri) yang naik bus Kopaja ketika melihat sopirnya ugal-ugalan ia berkata lantang, “Pak Sopir, jangan ugal-ugalan! Kamu harus ikut penataran P-4 dulu, agar bisa nyopir dengan sopan!”. Di sini tampak bahwa PMP dan P-4 telah menjadi alat politik, bukan alat pembentuk moral bangsa.

E.      SUBSTANSI DAN MODEL PENDIDIKAN KARAKTER PEMERINTAHAN SBY

Menteri Pendikan Nasional mencangkan pendidikan budaya dan karakter bansga pada 2011. Acuannya adalah UU No. 20/2003 tentang Sistem  Pendidikan Nasional. Tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah:
  1. mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;
  2. mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;
  3. menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa;
  4. mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan
  5. mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).
Adapun materinya diambil dari ajaran agama, Pancasila, budaya bangsa, dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas. Berdasarkan keempat sumber itu, teridentifikasi 18 nilai untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa: 1) religius; 2) jujur; 3) toleransi; 4) disiplin; 5) kerja keras; 6) kreatif; 7) mandiri; 8) demokratis; 9) rasa ingin tahu; 10) semangat kebangsaan; 11) cinta tanah air; 12) menghargai prestasi; 13) bersahabat/komunikatif; 14) cinta damai; 15) gemar membaca; 16) peduli lingkungan; 17) peduli sosial; 18) tanggung jawab.

Dilihat dari tujuannya, pendidikan karakter pemerintahan SBY ini hanyalah mengembangkan potensi peserta didik bukan membentuk karakter peserta didik. Jadi, pendidikan karakter tidak diarahkan untuk membentuk karakter peserta didik. Kemudian materinya yang berupa 18 nilai budaya dan karakter bangsa jika dikaitkan dengan konsep karakter bercampur aduk antara nilai, tindakan, dan atribut. Dalam pandangan Benjamin Franklin (The Liang Gie, 2001: 8.24)  ada 13 kebajikan untuk seseorang mencapai kesempurnaan moral: 1) pembatasan; 2) pendiaman diri; 3) ketertiban; 4) ketetapan hati; 5) hemat; 6) rajin; 7) tulus; 8) adil; 9) tidak berlebihan; 10) bersih; 11) tenang; 12) suci; dan 13) rendah hati. Dalam uraian Suparlan tentang sepuluh karakter utama (Suparlan dalam www.suparlan.com)  wisdom (kebijaksanaan), justice (adil), fortitude (tabah menghadapi masalah), pengendalian diri, kasih, integritas, positive attitude (baik sangka), gratitude (syukur), dan humility (rendah hati) adalah nilai pembentuk karakter manusia. Dengan mensimplikasi budaya dan karakter menjadi 18 perilaku, tampak pemerintah tidak mempunyai konsep yang jelas tentang pendidikan budaya bangsa dan karakter tersebut. Pemerintah tidak bisa membedakan mana karakter yang bersumber dari nilai etik dan mana yang merupakan atribut dari karakter.  Misal, disiplin, kerja keras, dan gemar membaca itu bukan karakter tapi kegiatan positif yang bersumber dari nilai rajin; mandiri itu bukan karakter tapi sikap positif yang bersumber dari nilai fortitude; demokratis, semangat kebangsaan, cinta damai, dan cinta tanah air itu bukan karakter tapi atribut dari nilai karakter adil dalam konteks pemerintahan; dan menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, dan  peduli sosial itu bukan karakter tapi kegiatan positif yang bersumber dari nilai karakter cinta dan kasih.

Dalam buku Materi Pelatihan Pendidikan Budaya Bangsa dan Karakter yang dikeluarkan Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemdiknas 2011 dijelaskan bahwa pembelajaran dilakukan di kelas dan di luar kelas yang diintegrasikan dalam mata pelajaran. Penilaian pencapaian dilakukan dengan pengamatan berbagai cara dan  terus menerus. Dari hasil pengamatan, catatan anekdotal, tugas, laporan, dan sebagainya, guru dapat memberikan kesimpulan atau pertimbangan tentang pencapaian suatu indikator atau bahkan suatu nilai. Kesimpulan atau pertimbangan itu dapat dinyatakan dalam pernyataan kualitatif sebagai berikut.
BT : Belum Terlihat (apabila peserta didik belum memperlihatkan tanda-tanda awal
perilaku yang dinyatakan dalam indikator).
MT : Mulai Terlihat (apabila peserta didik sudah mulai memperlihatkan adanya
tanda-tanda awal perilaku yang dinyatakan dalam indikator tetapi belum
konsisten).
MB : Mulai Berkembang (apabila peserta didik sudah memperlihatkan berbagai tanda
perilaku yang dinyatakan dalam indikator dan mulai konsisten).
MK : Membudaya (apabila peserta didik terus menerus memperlihatkan perilaku
yang dinyatakan dalam indikator secara konsisten).

Pendidikan karakter bukanlah pendidikan tentang karakter. Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk karakter peserta didik agar berperilaku sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan universal dan nilai-nilai kebangsaan Indonesia. Nilai-nilai kemanusiaan universal dan nilai-nilai kebangsaan tersebut diinternalisasikan dalam diri peserta didik dalam proses pendidikan dan latihan terus menerus yang berakhir pada terjadinya pembentukan karakter sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Lain halnya dengan pendidikan tentang karakter. Pendidikan tentang karakter adalah pendidikan yang mengajarkan agar peserta didik dapat menjelaskan tentang definisi karakter, jenis-jenis karakter, asal usul pendidikan karakter, model-model pembelajaran karakter, dan lain-lain. Hal inilah yang dilaksanakan pada zaman PMP dulu. Dengan demikian, pendidikan tentang karakter tidak ada hubungannya dengan pembentukan karakter peserta didik.

Dilihat dari tujuannya, pendidikan karakter tersebut tampaknya adalah pendidikan tentang karakter karena hanya mengembangkan potensi peserta didik. Karena hanya mengambangkan potensi karakter maka bisa jadi arahnya adalah agar peserta didik memahami apa itu karakter dan aspek-aspek yang terkait dengannya baik dari sisi konseptual maupun praktis. Bisa jadi, pendidikan karakter dilaksanakan sebagaimana PMP zaman Orde Baru. Misal, dalam pembelajaran tentang toleransi maka peserta didik disuruh memahami konsep toleransi, menghafal definisi toleransi, menunjukkan contoh-contoh perbuatan toleransi dan yang tidak bertoleransi, dan menilai kasus mana yang toleran dan mana yang tidak toleran. Pada akhir pelajaran peserta didik diuji dengan soal pilihan ganda dan uraian singkat tentang pengertian toleransi. Jadi, peserta didik sama sekali tidak diinternasasikan nilai toleransi sehingga merasuk dalam hati sanubarinya yang kemudian melalui latihan terus menerus diarahkan untuk menjadi wataknya (karakterisasi).  

Pendidikan karakter masuk dalam ranah afeksi. Krathwohl, et al.,1964 (dalam Boyd, et al.) menjelaskan bahwa taksonomi domain afeksi terdiri atas lima tingkat.
This original taxonomy contains five levels, from lowest to highest: 1) receiving when the learner is aware and attending the instructional event; 2) responding when the learner reacts to the instructional event or content; 3) valuing when the learner demonstrates a voluntary commitment to the instructional event or content; 4) organization when the learner demonstrates internalization of a value system; and 5) characterization when the learner consistently acts within the value system.

Berdasarkan taksonomi yang disampaikan Krathwohl tersebut maka pendidikan karakter bukanlah membuat definisi tentang nilai-nilai yang menjadi basis pendidikan karakter tapi bagaimana nilai-nilai tersebut dapat diinternalisasikan dalam diri peserta didik kemudian ditampilkan dalam karakter pribadi secara konsisten. Model ini sangat jauh berbeda dengan model PMP dan P-4 zaman Orde Baru dimana nilai-nilai didefinsikan lalu peserta didik diminta menghafal, menjelaskan, dan menganalisis kasus-kasus yang berkaitan dengan nilai yang diajarkan. Model ini jelas tidak berdampak pada karekterisasi peserta didik tapi hanya tahu tentang arti nilai yang diajarkan.

F.      PENUTUP
Kebijakan pendidikan karakter yang diambil oleh pemerintahan SBY bisa bernasib sama dengan pendidikan karakter model nation character building Orde Lama dan pendidikan karakter model PMP dan P-4 Orde Baru yaitu gagal kembali jika filsafat dan konsepnya sama. Filsafat dan konsepsi pendidikan karakter pada masa Orde Lama dan Orde Baru adalah politis. Pendidikan karakter hanyalah kemasan yang substansinya bukan pembentukan karakter dalam arti internalisasi dan karakterisasi nilai-nilai kemanusiaan universal. Oleh karan itu, hasilnya adalah anak bangsa yang tidak berkarakter.  

Agar tidak terjerumus pada kesalahan yang sama, pendidikan karakter saat ini hendaknya berpijak dasar filosofis dan konsepsi tentang pendidikan karakter itu sendiri, tidak dikaitkan dengan agenda politik terselubung sebagaimana zaman Orde Lama dan Orde Baru. Substansi pendidikan karakter adalah membentuk peserta didik dan bangsa berperilaku sesuai dengan nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan universal dalam konteks lokal Indonesia. Oleh karena itu, tujuannya bukan sekedar mengembangkan potensi karakter tapi benar-benar membentuk karakter. Dasar filosofis dan konsepsinya kemudian diimplementasikan dalam model pembelajaran dan asesmen yang tepat, tidak misleading dan tidak valid.

Berikut adalah inspirasi untuk pendidikan karakter yang saya gubah dari Dorothy Low Noite dalam Children Learn What They Live With.

Jika anak dicela
ia belajar  memaki
Jika anak dimusuhi
ia belajar berkelahi

Jika anak dibenci
ia belajar memusuhi
Jika anak dicemooh
ia belajar rendah diri

Jika anak dicurigai
ia belajar jadi pengecut
Jika anak diancam
ia belajar jadi penakut
Jika anak ditakut-takuti
ia belajar jadi orang kerdil

Jika anak selalu dilarang
ia belajar ketakutan
Jika anak didorong
ia belajar percaya diri

Jika anak dipercaya
ia belajar kejujuran
Jika anak dihargai
ia belajar mengembangkan diri
     
      Jika anak dididik dengan sebaik-baik perlakuan
      ia belajar keadilan
      Jika anak dididik dengan kasih sayang dan persahabatan
      ia belajar menemukan kehidupan penuh cinta kasih

        ....  karena anak adalah permata
yang harus diasah, asuh, asih dg sepenuh hati





BAHAN BACAAN

Departemen Penerangan RI. 1961. Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi. Jakarta: Departemen Penerangan RI
James Arthur. 2003. Education with Character. London: Routledge
Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kemendiknas Balitbang Pusat Kurikulum.
Kementerian Pendidikan Nasional. 2011. Pedoman Pelaksanaan  Pendidikan Karakter (Berdasarkan Pengalaman di Satuan Pendidikan Rintisan). Jakarta: Kemendiknas Balitbang Pusat Kurikulum dan Perbukuan
Larry P. Nucci dan Darcia Narvaez. 2008. Handbook of Moral and Character Education. New York: Routledge
 Oetojo Usman dan Alfian (Penyunting). 1990. Pancasila sebagai Ideologi. Jakarta: BP-7 Pusat.
Suparlan. Pendidikan Karakter. Dalam www.suparlan.com, diunduh pada 13 November 2011
The Liang Gie. 2001. Etika Administrasi Pemerintahan. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka
United Nation Development Programme, 2011.
Udin Saripudin Winataputra. 2010. Implementasi Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Karakter (Konsep, Kebijakan, dan Kerangka Programatik). Makalah.
Boyd, Barry L., et al. Measuring Learning In The Affective Domain Using Reflective
Writing About a Virtual International Agriculture Experience, dalam Http://Pubs.Aged.Tamu.Edu/Jae/Pdf/Vol47/47-03-024.Pdf, diunduh pada 13 November 2011, pukul 16.35
Undang-Undang Nomor  4 tahun 1950, tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, Jakarta: Departemen PP dan K
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Depdikbud
 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Depdiknas
Peraturan Pemerintah RI, Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta: Depdiknas
 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007, Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025, Jakarta: Sekretariat Negara