PENDIDIKAN KARAKTER BISA GAGAL LAGI
Dr. Hanif Nurcholis,M.Si
hanif@ut.ac.id
A. PENDAHULUAN
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada
Mei 2011 bersamaan dengan Hari Pendidikan Nasional mencanangkan pendidikan budaya
dan karakter bangsa bagi peserta didik di Indonesia. Berdasarkan kebijakan
tersebut saat ini semua satuan pendidikan mulai dari TK sampai perguruan tinggi
terjadi demam pendidikan karakter. Para pejabat dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan melakukan ceramah, penataran, dan pelatihan pendidikan karakter
kepada pejabat dinas pendidikan daerah provinsi dan kabupaten/kota, kepala sekolah,
dan guru. Di daerah pejabat dinas pendidikan juga melakukan hal yang sama.
Kepala sekolah dan guru mencoba mengimplementasikan kebijakan pendidikan
karakter di sekolah masing-masing.
Sebenarnya pendidikan karakter sudah
dilaksanakan oleh pemerintah sejak awal kemerdekaan. Akan tetapi, pendidikan
karakter yang terumuskan secara sistematis dan diselenggarakan secara masif
dimulai pada awal 1960-an ketika Presiden Soekarno mengeluarkan MANIPOL USDEK
(Manifesto Politik: UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin,
Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). MANIPOL USDEK dijadikan dasar
pembentukan karakter bangsa yang sangat terkenal dengan istilah nation character building.
Sejak dikeluarkannya MANIPOL USDEK maka
dimulailah program pendidikan karakter bangsa melalui program indoktrinasi
massal. Progam nation character building
ini berhenti ketika pemerintahan Soekarno jatuh akibat G30S/PKI tahun 1965.
Presiden Soeharto yang mengantikan Presiden Soekarno kemudian membuat kebijakan
pendidikan karakter dengan nama Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan penataran
P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). PMP ditujukan untuk
pembentukan karakter siswa di sekolah agar siswa berperilaku sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila sedangkan Penataran P4 ditujukan kepada masyarakat luas
agar masyarakat berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Pendidikan karakter yang telah
dilakukan oleh pemerintah baik dalam model nation
character building mampun model PMP/P4 tidak membawa dampak signifikan pada
terbentuknya karakter bangsa. Sampai pada 67 usia kemerdekaan bangsa Indonesia indeks
pembangunan manusia (IPM) pada 2011 ini peringkatnya di bawah Singapura,
Brunai, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Bangsa Indonesia mempunyai peringkat
tertinggi dalam indeks korupsi. Mental bangsa Indonesia sebagaimana digambarkan
oleh Koentjaraningrat dan Mochtar Lubis sebagai bangsa yang tidak mau kerja
keras, beretos rendah, suka menerabas, tidak menghargai waktu, berpikir dan
bertindak jangka pendek, dan munafik tidak banyak berubah sampai sekarang.
Tulisan ini menyoroti substansi
pendidikan karakter, tujuan, dan metode pembelajarannya. Substansi pendidikan karakter
harus benar dan tujuannya juga harus untuk membentuk karakter peserta didik. Di
samping itu, pendidikan karakter harus menggunakan model pembelajaran yang
benar.
B.
GAGASAN DAN PRAKTIK PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA
Pendidikan karakter telah digagas dan dipraktikan oleh tokoh-tokoh
bangsa sebelum berdirinya negara Indonesia. Beberapa di antaranya adalah,
1)
KH. Ahmad Dahlan menggagas
dan mempraktikkan di perguruan Muhammadiyah;
2) KH. Hasyim Asy’ari menggagas dan mempraktikkan di Pondok pesantren
Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur;
3) Ibrahim Musa menggagas dan mempraktikkan di perguruan Thuwailib
Sumatera Barat;
4) Ki Hajar Dewantara menggagas dan mempraktikkan di perguruan
Taman Siswa;
5) Moch. Syafii menggagas dan mempraktikkan di Institut Kayu
Taman;
6) KH. Imam Zarkasyi menggagas dan mempraktikkan di Pondok
Modern Gontor Ponorogo, Jawa Timur;
7) Dan lain-lain.
Para tokoh melalui perguruan yang
didirikan berhasil mencetak anak bangsa yang mempunyai karakter mulia.
Perguruan Muhammadiyah berhasil membentuk karakter mulia kepada anak asuhnya,
di antaranya adalah Panglima Besar Jenderal Soedirman yang terkenal jujur dan
tegas, Jenderal Sarbini yang terknal jujur dan tegas, dan Jenderal Besar
Soeharto yang pemberani dan tegas. Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang berhasil
mencetak alumninya yang agamis, mandiri, dan berani membela kebenaran. Di
antaranya adalah KH. Wahid Hasyim, KH. Wahab Hasbullah, Sjaefudin Zuhri, dan
KH. Achmad Sjaikhu. Perguruan Thuwailib berhasil mencetak tokoh besar yang
berkarakter tinggi di antaranya Mahmud Yunus dan KH. Zarkasyi pendiri Pondok
Pesantren Modern Gontor Ponorogo. Perguruan Taman Siswa berhasil mencetak anak
bangsa yang nasionalis dan jujur . Institur Kayu Taman berhasil mencetak
alumninya yang mandiri. Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo berhasil
mencetak alumninya yang jujur, sederhana, gigih berjuang, dan memiliki cara
berpikir bebas. Di antaranya adalah Nurcholis Madjid, Emha Ainun Najib, Din
Syamsudin, dan Hasyim Mujadi.
Setelah Indonesia merdeka pada 17
Agustus 1945, pendidikan karakter menjadi kebijakan negara yang dituangkan
dalam Undang-Undang. Sejak merdeka sampai sekarang (2011) telah berlaku
Undang-Undang tentang pendidikan sebagai berikut.
1.
UU No. 4 Tahun 1950 tentang
Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah
2.
UU No. 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional;
3.
UU No 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Akan tetapi, yang menarik di samping
menjadi kebijakan negara yang dituangkan dalam Undang-Undang, pendidikan
karakter juga dijadikan kebijakann politik regim. Berikut adalah pendidikan
karakter sebagai kebijakan politik regim.
- Pendidikan karakter yang dikenal
dengan Nation Character Building
oleh Orde Lama;
- Pendidikan karakter yang dikenal
dengan Pendidikan Moral Pancasilan (PMP) dan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalam Pancasila (P-4) oleh Orde Baru;
- Pendidikan karakter yang dikenal
dengan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa oleh regim SBY di bawah
Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh.
C. SUBSTANSI DAN MODEL PENDIDIKAN
KARAKTER DALAM PROGRAM NATION CHARACTER
BUILDING ZAMAN ORDE LAMA
Presiden Soekarno mengeluarkan
Manifesto Politik yang isinya kembali kepada UUD 1945, sosialisme Indonesia,
demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian Indonesia yang
disingkat dengan Manipol USDEK. Manipol USDEK berisi visi bangsa Indonesia yaitu
terciptanya masyarakat adil dan makmur (sosialis) yang untuk mencapainya
menggunakan sistem politik dan ekonomi terpimpin dan berpijak pada kepribadian
bangsa Indonesia sendiri. Agar kebijakan ini dimengerti oleh seluruh rakyat
Indonesia maka pemerintah melakukan penerangan kepada seluruh penduduk dengan model
indoktrinasi dan sosialisasi. Bentuknya berupa ceramah/pidato kepada pejabat,
pelajar, mahasiswa, dan pemuda; penempelan pamflet-pamflet; dan penulisan kata
“USDEK” pada setiap genteng rumah penduduk. Materi indoktrinasi dihimpun dalam
tujuh bahan pokok indoktronisasi yang disingkat Tubapi. Tubapi berisi, 1)
Lahirnya Pancasila; 2) UUD 1945; 3) Manifesto Politik Republik Indonesia; 4)
Djarek (jalannya revolusi kita); 5) Membangun Dunia Kembali; 6) Manipol Usdek;
dan 7) Amanat Presiden tentang Pembangunan Semesta Berencana.
Dalam rangka indoktrinasi tersebut
pemerintah mendidik calon-calon indoktriner melalui program pendidikan dan
pelatihan secara sistematis dan dengan disiplin ketat. Calon indoktriner
diambil dari pejabat pemerintah, guru, dosen, pimpinan partai politik, alim
ulama dan pemimpin agama non Islam, tokoh pemuda, tokoh wanita, pengusaha, dan
tokoh-tokoh masyarakat. Materi pokok dalam
pendidikan dan pelatihan adalah tujuh bahan pokok indoktrinasi tersebut
ditambah dengan pidato-pidato Presiden Soekarno yang disampaikan pada setiap 17
Agustus dan kesempatan lain. Peserta juga diberi pelatihan seni berpidato,
propaganda, dan retorika.
Dalam program indoktrinasi tersebut
metode yang digunakan adalah ceramah dalam bentuk pidato. Di sini yang
dijadikan role model adalah Presiden Soekarno yang berpidato dengan penuh
retorik: menggelegar, penuh semangat, dan berapi-api. Calon indoktriner dilatih
agar bisa berpidato sebagaimana Presiden Soekarno berpidato. Oleh karena itu,
setiap calon indoktriner berlatih dan mematut-matut diri menjadi “Soekarno
Kecil”. Setiap calon indoktriner berusaha meniru gaya, retorika, intonasi,
pilihan kata, gerak, dan gesture
Presiden Soekarno.
Calon indoktriner yang dinyatakan lulus
pendidikan dan pelatihan kemudian diterjunkan ke masyarakat sesuai dengan
lingkungannya. Para pejabat kemudian melakukan indoktrinasi kepada bawahannya. Guru
dan dosen memberikan indoktrinasi kepada murid dan mahasiswa. Pimpinan partai
politik memberikan indoktrinasi kepada anggota partainya. Alim ulama dan
pemimpin agama non Islam memberikan indoktrinasi kepada umat atau jamaahnya.
Demikian pula yang berasal dari tokoh pemuda, tokoh wanita, dan pengusaha.
Mereka melakukan indoktrinasi kepada PNS, murid dan mahasiswa, dan semua
lapisan masyarakat dengan metode
ceramah/pidato yang berapi-api dan provokatif.
Di sekolah, guru yang ditunjuk sebagai
indoktriner/penatar menjadi “Soekarno Kecil” ketika mengajar. Ia tidak hanya
mengajarkan materi pelajaran tapi juga memasukkan nilai-nilai yang terkandung
dalam Tubapi ditambah dengan lagu-lagu revolusioner seperti lagu Tujuh Belas
Agustus, Garuda Pancasila, Halo-Halo Bandung, Resopim (Revolusi, Sosialisme,
dan Pimpinan Nasional), dan Nasakom (Nasioanalis, Agamawan, dan Komunis). Dua
lagu terakhir karya Subronto K Atmodjo wajib dinyanyikan pada setiap upacara
bendera Senin. Perhatikan lirik dua lagu tersebut.
RESOPIM
Re-so-pim, re-so-pim, revolusi Agustus ’45
Re-so-pim, re-so-pim
Sosialisme di tangan negara
Kita tuntut pimpinan yang jujur
Rakyat harus hidup adil makmur
Re-so-pim, re-so-pim
Maju, maju, re-so-pim
NASAKOM BERSATU
Acungkan tinju kita
Satu padu (bersatu)
Bulat semangat kita
Hayo terus maju
Nasakom jiwaku
Singkirkan kepala batu
Nasakom satu cita
Sosialisme pasti jaya
Di perguruan tinggi demikian pula.
Birokrat kampus dan dosen mendoktrin mahasiswa tentang MANIPOL USDEK yang
materinya diambil dari Tubapi. Civitas akademika dipaksa menerima materi
nonilmiah dalam rangka ideologisasi. Mahasiswa dan anggota civitas akademika
lainnya yang bersuara kritis mendapat tekanan dan intimidasi. Saat itu, suasana
kampus menjadi sangat ideologis, jauh dari suasana ilmiah. PNI dan PKI memegang
hegemoni ideologi di kampus-kampus utama.
Pada organisasi mahasiswa ekstra kampus
khususnya GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasisonal Indonosia) yang berafiliasi ke PNI
dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang berafiliasi ke PKI
melakukan indoktrinasi secara internal di bawah mentor-mentor partai masing-masing.
Di kalangan masyarakat hanya PNI dan PKI yang melaksanakan indoktrinasi secara
sistematis kepada anggota dan simpatisannya sedangkan partai politik dan
organisasi massa di luar PNI dan PKI kurang antusias. Partai dan ormas Islam
tidak semangat menjalankan indoktrinasi kepada anggota dan simpatisannya bahkan
diam-diam melakukan perlawanan terhadap program indoktrinasi tersebut karena
dinilai justeru menguntungkan PKI dan membahayakan Islam.
Dengan program indoktrinasi tersebut
para pelajar, mahasiswa, remaja, pemuda, dan anggota masyarakat menjadi
bersikap dan berperilaku ideologis, fanatik, dan militan. Mereka fanatik
terhadap ideologi baru yang bernama MANIPOL USDEK dan menjadi pembelanya.
Karena ideologi baru tersebut dilawankan dengan musuh-musuh ideologi yang
diidentifikasi dengan Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperalisme), Nasakom
Palsu, dan Kaum Kepala Batu maka mereka sangat membenci dan siap melawan
terhadap kekuatan-kekuatan yang dianggap sebagai musuh ideologi tersebut.
Mereka mudah dihasut dan dimobilisir untuk kepentingan politik penguasa dan
kekuatan politik yang memboncengnya.
Pendidikan karakter dalam proyek nation character building tersebut melahirkan
pelajar, mahasiswa, remaja, pemuda, dan anggota masyarakat ideologis, fanatik,
dan militan yang cenderung radikal. Karakter bangsa yang lahir dari proyek nation character building adalah
karakter ideologis yang ekspresinya adalah sikap dan perilaku anak bangsa yang
nasionalistik, bukan sikap dan perilaku humanistik. Bahkan doktrin nasionalisme
sempit melahirkan fanatisme dan radikalisme dalam jiwa anak bangsa yang
bertentangan dengan nilai dan sikap humanisme. Misal, sebagian rakyat yang
menjadi sukarelawan dalam rangka memenuhi tiga komando rakyat (TRI KORA) untuk
membebaskan Irian Barat dan dua komando rakyat (DWI KORA) untuk membebaskan
Malaysia yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno, melakukan kekerasan mental
dan fisik kepada teman-temannya yang tidak ikut mendaftarkan diri sebagai
sukarelawan. Para sukarelawan memberi cap kepada mereka sebagai antek Nekolim,
kaki tangan Amerika-Inggris, dan Kontrev (kontra revolusi) sambil melakukan
teror mental dan fisik.
D. SUBSTANSI DAN MODEL PENDIDIDIKAN
KARAKTER DALAM PROGRAM PMP DAN P4 ZAMAN ORDE BARU
Regim Orde Baru yang menggantikan Orde
Lama mencanangkan pendidikan karakter kembali dengan model Pendidikan Moral
Pancasila (PMP) untuk pelajar dan mahasiswa dan penataran Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (P4) untuk masyarakat luas. PMP masuk sebagai mata
pelajaran/mata kuliah wajib mulai 1976 sebagai pengganti mata pelajaran/mata
kuliah Civics (Kewarganegaraan). Sejak tahun pelajaran 1976/1977 semua peserta
didik dari SD sampai perguruan tinggi mendapatkan pelajaran PMP yang berisi
nilai-nilai humanisme universal yang dijustifikasi sebagai nilai-nilai yang
bersumber dari Pancasila.
Materi pelajaran PMP terdiri atas Pancasila/P-4, UUD 1945, dan
GBHN dikemas dalam bentuk bahan ajar dan diintegrasikan dalam kurikulum
pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Pancasila diuraikan sebagai Pandangan
Hidup, Jiwa, dan Kesadaran Bangsa, Dasar Negara, Cita-Cita Bangsa, dan
Perjanjian Luhur Bangsa Indonesia. Di samping itu, juga dibangun doktrin baru
tentang lahirnya Pancasila. Kelahiran Pancasila
bukan pada 1 Juni 1945 sebagaimana didoktrinkan Orde Lama tapi 18
Agustus 1945. Sebagai pembentukan moral/karakter bangsa, Pancasila dijabarkan
dalam P4 yang merupakan penguraian atas sila-sila Pancasila menjadi butir-butir
pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila. UUD 1945 diajarkan sebagai UUD
yang tidak boleh dirubah oleh siapapun, termasuk oleh MPR. Dalam konteks
ketidakkonsistenan bangsa Indonesia terhadap UUD 1945 dijelaskan bahwa ketika
bangsa Indonesia tidak melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen pada tahun
1945 dan masa Orde Lama, negara menjadi tidak stabil sehingga tidak bisa
membangun. GBHN diajarkan sebagai blue
print ideal bangsa Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur melalui lima
tahapan pembangunan lima tahunan.
Materi PMP ditulis dalam buku teks pelajaran wajib mulai dari SD,
SLTA, dan SLTA. Materi untuk perguruan tinggi menggunakan kompilasi dari
berbagai referensi di bawah payung mata kuliah Pendidikan Pancasila. Metode
yang digunakan dalam pembelajaran PMP adalah ceramah dan tanya jawab. Butir-butir
Pancasila dan nilai-nilai kemanusiaan diajarkan sebagaimana pengajaran sains
yang selalu dimulai dengan definisi konsep. Setelah definisi konsep, diteruskan
dengan contoh dan noncontoh sebagai kasus yang terkait dengan konteks nilai
yang diajarkan. Peserta didik diminta menghafal butir-butir Pancasila dan
menarik kesimpulan atas kasus yang diajukan. Di sini, sudah berang tentu
peserta didik mengambil kesimpulan dengan mengacu pada nilai positif. Evaluasi
formatif dan sumatif dilakukan dengan teknik tes tertulis pilihan ganda.
Dua tahun kemudian MPR mengeluarkan TAP MPR RI No.II/MPR/1978 tentang P-4 atau Sapta Prasetya Panca
Karsa. Berdasarkan TAP MPR No. II tersebut pemerintah kemudian membentuk Lembaga
Pemerintah Non Departemen yang disebut Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila disingkat BP-7 dengan surat
Keputusan Presiden No.10 Tahun 1979 di pusat dengan cabang-cabang di Propinsi
dan Kabupaten/Kotamadya. Melalui BP7, pemerintah menyelenggarakan penataran P4
kepada semua anggota masyarakat.
Muatan penataran P4 sama dengan pelajaran PMP ditambah dengan
materi tentang kesinambungan pembangunan nasional, kepemimpinan nasional, dwi
fungsi ABRI, dan partai politik dan golongan karya. Bahkan materi tentang kesinambungan pembangunan nasional,
kepemimpinan nasional, dwi fungsi ABRI, dan partai politik dan golongan karya
menjadi inti penataran P4. Materi P4 yang berisi butir-butir dari kelima sila
Pancasila lebih sebagai ceramah tentang nilai kebajikan yang diklaim sebagai
nilai-nilai Pancasila dan diharapkan bangsa Indonesia berperilaku sesuai dengan
nilai-nilai ini.
Penataran P4 dilakukan oleh para manggala yang telah ditatar oleh BP7 Pusat. Para
manggala kemudian menatar pejabat pada instansi masing-masing dengan ketentuan sebagai
berikut. Para pegawai golongan IV dan III mengikuti penataran P-4 tipe A yang
diselenggarakan sekitar dua minggu, pegawai golongan II mengikuti tipe B yang
berlangsung sekitar satu minggu, dan golongan I mengikuti tipe C selama empat
hari. Dalam waktu sekitar dua tahun hampir seluruh pegawai negeri telah
mengikuti penataran P-4.
Setelah semua PNS mengikuti penataran P4 pemerintah kemudian melakukan penataran P4
kepada masyarakat luas. Pola penataran kepada masyarakat ini terdiri atas,
a) Pola 120 jam/ pola 144 jam, bagi calon penatar yang akan bertugas
di BP-7 daerah tingkat I maupun tingkat II, dan bagi tokoh-tokoh masyarakat dan
pimpinan organisasi;
b)
Pola 45 jam, bagi kader-kader organisasi kemasyarakatan;
c)
Pola 25 jam bagi masyarakat pada umumnya;
d)
Pola 100 jam bagi mahasiswa yang baru masuk perguruan tinggi;
e)
Pola 45 jam bagi murid klas 1 SLTA;
f)
Pola 25 jam untuk murid klas 1 SLTP.
Metode yang digunakan dalam penataran P4 adalah peserta
dikumpulkan dalam kelas besar. Dalam kelas besar ini peserta menerima materi dalam bentuk ceramah umum.
Pendalaman materi Pancasila, UUD 1945, Sistem Pemerintahan Indonesia, GBHN,
Kepemimpinan Nasional, dan Kelanjutan
Pembangunan dilakukan dalam kelas-kelas kecil. Dalam kelas-kelas ini materi
didiskusikan dan dibahas secara intensif. Penilaian dilakukan dengan cara tes
tertulis pilihan ganda dan tanya jawab/interview. Pada akhir
penataran/penutupan, panitia mengumumkan 10 besar peserta terbaik.
Kebijakan pendidikan karakter di bawah
program PMP dan penataran P4 itu dapat dibaca sebagai bagian dari politisasi,
dalam makna negatif. Politik pendidikan tersebut sama dengan proyek nation character building era Soekarno
yang berorientasi pada indoktrinasi Pancasila dalam tafsir tunggal pemerintah.
Di samping itu, politik pendidikan Pancasila melalui proyek PMP dan P4 juga
mempunyai agenda besar: pelanggengan kekuasaan Orde Barau melalui politik
hegemoni, menguasasi pola pikir rakyat agar sesuai dengan kehendak penguasa.
Hegemony is the dominance of one group
over other groups, with or without the threat of force, to the extent that, for
instance, the dominant party can dictate the terms of trade to its advantage;
more broadly, cultural perspectives become skewed to favor the dominant group.
Hegemony controls the ways that ideas become “naturalized” in a process that
informs notions of common sense (http://en.wikipedia.org/wiki/Hegemony).
Melalui PMP dan penataran P-4 penguasa
membentuk pola pikir rakyat. Pola pikir rakyat yang ingin dibentuk adalah bahwa
butir-butir Pancasila merupakan acuan nilai tertinggi bagi bangsa Indonesia,
Orde Baru dengan konsep dwifungsi ABRI-nya, Pemilu yang diikuti oleh dua partai
politik dan Golongan Karya, demokrasi Pancasila yang berbasiskan musyawarah
mufakat, pengangkatan anggota ABRI di MPR, DPR, DPRD, dan Kepala Daerah,
keharusan PNS menyalurkan aspirasi politiknya kepada Golkar, dan pembangunan
akan terus berlanjut manakala pemerintahan dipegang oleh regim Orde Baru
semuanya adalah benar dan merupakan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen. Dengan demikian, PMP dan penataran P-4 lebih merupakan
kebijakan strategi politik hegemonik daripada strategi pendidikan karakter
bangsa. Frase pendidikan moral lebih merupakan justifikasi etis agar semua
pihak menerima atas dasar pertimbangan etik/moral.
Karena PMP dan penataran P-4 lebih
sebagai kebijakan strategi politik hegemonik maka hasilnya adalah sikap dan
perilaku bangsa yang loyal terhadap regim dan nyaman terhadap sistem
pemerintahan model Orde Baru. Pendidikan moral yang merupakan justifikasi etis
hanya sebagai standar moral dan etika penguasa, bukan menjadi acuan perilaku
anak bangsa. Standar moral dan etika penguasa yang diklaim sebagai kristalisasi
nilai-nilai Pancasila yang dirumuskan dalam butir-butir Pancasila/P-4 akhirnya
dijadikan alat penguasa dan rakyat yang telah terhegomni untuk menstigma
perilaku orang atau kelompok yang tidak sejalan dengan standar moral dan etika
tersebut. Pejabat dan rakyat yang telah terhegomoni ketika melihat orang atau
kelompok orang melakukan tindakan yang dianggap tidak sesuai dengan butir-butir
P-4 yang telah dihafal menyuruh orang atau kelompok itu mengikuti penataran
P-4. Contoh, Kepala SPG N Demak dalam upacara bendera Senin pada tahun 1980-an
menyampaikan amanat bahwa orang-orang Demak itu masih saja belum menghayati dan
mengamalkan Pancasila (P-4) karena hanya bisa membaca Alquran, tidak hafal Pancasila
dan UUD 1945 dan perilakunya tidak mencerminkan butir-butir P-4. Oleh karena
itu, orang-orang Demak perlu ditatar P-4. Contoh lain, seseorang yang saya
yakini PNS (karena berbaju Korpri) yang naik bus Kopaja ketika melihat sopirnya
ugal-ugalan ia berkata lantang, “Pak Sopir, jangan ugal-ugalan! Kamu harus ikut
penataran P-4 dulu, agar bisa nyopir dengan sopan!”. Di sini tampak bahwa PMP
dan P-4 telah menjadi alat politik, bukan alat pembentuk moral bangsa.
E.
SUBSTANSI DAN MODEL PENDIDIKAN KARAKTER PEMERINTAHAN SBY
Menteri Pendikan Nasional mencangkan
pendidikan budaya dan karakter bansga pada 2011. Acuannya adalah UU No. 20/2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tujuan
pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah:
- mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif
peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai
budaya dan karakter bangsa;
- mengembangkan kebiasaan dan
perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai
universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;
- menanamkan jiwa kepemimpinan dan
tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa;
- mengembangkan kemampuan peserta
didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan
- mengembangkan lingkungan kehidupan
sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan
persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan
(dignity).
Adapun materinya diambil dari ajaran
agama, Pancasila, budaya bangsa, dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum
dalam UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas. Berdasarkan keempat sumber itu,
teridentifikasi 18 nilai untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa: 1)
religius; 2) jujur; 3) toleransi; 4) disiplin; 5) kerja keras; 6) kreatif; 7)
mandiri; 8) demokratis; 9) rasa ingin tahu; 10) semangat kebangsaan; 11) cinta
tanah air; 12) menghargai prestasi; 13) bersahabat/komunikatif; 14) cinta
damai; 15) gemar membaca; 16) peduli lingkungan; 17) peduli sosial; 18)
tanggung jawab.
Dilihat dari tujuannya, pendidikan karakter
pemerintahan SBY ini hanyalah mengembangkan
potensi peserta didik bukan
membentuk karakter peserta didik. Jadi, pendidikan karakter tidak diarahkan
untuk membentuk karakter peserta didik. Kemudian materinya yang berupa 18 nilai
budaya dan karakter bangsa jika dikaitkan dengan konsep karakter bercampur aduk
antara nilai, tindakan, dan atribut. Dalam pandangan Benjamin Franklin (The
Liang Gie, 2001: 8.24) ada 13 kebajikan
untuk seseorang mencapai kesempurnaan moral: 1) pembatasan; 2) pendiaman diri;
3) ketertiban; 4) ketetapan hati; 5) hemat; 6) rajin; 7) tulus; 8) adil; 9)
tidak berlebihan; 10) bersih; 11) tenang; 12) suci; dan 13) rendah hati. Dalam
uraian Suparlan tentang sepuluh karakter utama (Suparlan dalam www.suparlan.com)
wisdom
(kebijaksanaan), justice (adil), fortitude (tabah menghadapi masalah),
pengendalian diri, kasih, integritas, positive
attitude (baik sangka), gratitude
(syukur), dan humility (rendah hati)
adalah nilai pembentuk karakter manusia. Dengan mensimplikasi budaya dan
karakter menjadi 18 perilaku, tampak pemerintah tidak mempunyai konsep yang
jelas tentang pendidikan budaya bangsa dan karakter tersebut. Pemerintah tidak
bisa membedakan mana karakter yang bersumber dari nilai etik dan mana yang
merupakan atribut dari karakter. Misal,
disiplin, kerja keras, dan gemar membaca itu bukan karakter tapi kegiatan
positif yang bersumber dari nilai rajin; mandiri itu bukan karakter tapi sikap positif
yang bersumber dari nilai fortitude;
demokratis, semangat kebangsaan, cinta damai, dan cinta tanah air itu bukan
karakter tapi atribut dari nilai karakter adil dalam konteks pemerintahan; dan menghargai
prestasi, bersahabat/komunikatif, dan peduli sosial itu bukan karakter tapi kegiatan
positif yang bersumber dari nilai karakter cinta dan kasih.
Dalam buku Materi Pelatihan Pendidikan
Budaya Bangsa dan Karakter yang dikeluarkan Pusat Kurikulum dan Perbukuan
Kemdiknas 2011 dijelaskan bahwa pembelajaran dilakukan di kelas dan di luar
kelas yang diintegrasikan dalam mata pelajaran. Penilaian pencapaian dilakukan
dengan pengamatan berbagai cara dan
terus menerus. Dari hasil pengamatan, catatan anekdotal, tugas, laporan,
dan sebagainya, guru dapat memberikan kesimpulan atau pertimbangan tentang
pencapaian suatu indikator atau bahkan suatu nilai. Kesimpulan atau
pertimbangan itu dapat dinyatakan dalam pernyataan kualitatif sebagai berikut.
BT : Belum Terlihat (apabila peserta didik belum
memperlihatkan tanda-tanda awal
perilaku yang dinyatakan dalam
indikator).
MT : Mulai Terlihat (apabila peserta didik sudah mulai
memperlihatkan adanya
tanda-tanda awal perilaku
yang dinyatakan dalam indikator tetapi belum
konsisten).
MB : Mulai Berkembang (apabila peserta didik sudah
memperlihatkan berbagai tanda
perilaku yang dinyatakan
dalam indikator dan mulai konsisten).
MK : Membudaya (apabila peserta didik terus menerus
memperlihatkan perilaku
yang dinyatakan dalam
indikator secara konsisten).
Pendidikan karakter bukanlah pendidikan
tentang karakter. Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk
karakter peserta didik agar berperilaku sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan
universal dan nilai-nilai kebangsaan Indonesia. Nilai-nilai kemanusiaan
universal dan nilai-nilai kebangsaan tersebut diinternalisasikan dalam diri
peserta didik dalam proses pendidikan dan latihan terus menerus yang berakhir
pada terjadinya pembentukan karakter sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Lain
halnya dengan pendidikan tentang karakter. Pendidikan tentang karakter adalah
pendidikan yang mengajarkan agar peserta didik dapat menjelaskan tentang
definisi karakter, jenis-jenis karakter, asal usul pendidikan karakter,
model-model pembelajaran karakter, dan lain-lain. Hal inilah yang dilaksanakan
pada zaman PMP dulu. Dengan demikian, pendidikan tentang karakter tidak ada
hubungannya dengan pembentukan karakter peserta didik.
Dilihat dari tujuannya, pendidikan
karakter tersebut tampaknya adalah pendidikan tentang karakter karena hanya
mengembangkan potensi peserta didik. Karena hanya mengambangkan potensi
karakter maka bisa jadi arahnya adalah agar peserta didik memahami apa itu
karakter dan aspek-aspek yang terkait dengannya baik dari sisi konseptual
maupun praktis. Bisa jadi, pendidikan karakter dilaksanakan sebagaimana PMP
zaman Orde Baru. Misal, dalam pembelajaran tentang toleransi maka peserta didik
disuruh memahami konsep toleransi, menghafal definisi toleransi, menunjukkan
contoh-contoh perbuatan toleransi dan yang tidak bertoleransi, dan menilai
kasus mana yang toleran dan mana yang tidak toleran. Pada akhir pelajaran
peserta didik diuji dengan soal pilihan ganda dan uraian singkat tentang
pengertian toleransi. Jadi, peserta didik sama sekali tidak diinternasasikan
nilai toleransi sehingga merasuk dalam hati sanubarinya yang kemudian melalui
latihan terus menerus diarahkan untuk menjadi wataknya (karakterisasi).
Pendidikan karakter masuk dalam ranah
afeksi. Krathwohl, et al.,1964 (dalam Boyd, et al.) menjelaskan bahwa taksonomi
domain afeksi terdiri atas lima tingkat.
This
original taxonomy contains five levels, from lowest to highest: 1) receiving when
the learner is aware and attending the instructional event; 2) responding when
the learner reacts to the instructional event or content; 3) valuing when the
learner demonstrates a voluntary commitment to the instructional event or
content; 4) organization when the learner demonstrates internalization of a value
system; and 5) characterization when the learner consistently acts within the
value system.
Berdasarkan taksonomi yang disampaikan
Krathwohl tersebut maka pendidikan karakter bukanlah membuat definisi tentang
nilai-nilai yang menjadi basis pendidikan karakter tapi bagaimana nilai-nilai
tersebut dapat diinternalisasikan dalam diri peserta didik kemudian ditampilkan
dalam karakter pribadi secara konsisten. Model ini sangat jauh berbeda dengan
model PMP dan P-4 zaman Orde Baru dimana nilai-nilai didefinsikan lalu peserta
didik diminta menghafal, menjelaskan, dan menganalisis kasus-kasus yang
berkaitan dengan nilai yang diajarkan. Model ini jelas tidak berdampak pada
karekterisasi peserta didik tapi hanya tahu tentang arti nilai yang diajarkan.
F. PENUTUP
Kebijakan pendidikan karakter yang
diambil oleh pemerintahan SBY bisa bernasib sama dengan pendidikan karakter
model nation character building Orde
Lama dan pendidikan karakter model PMP dan P-4 Orde Baru yaitu gagal kembali
jika filsafat dan konsepnya sama. Filsafat dan konsepsi pendidikan karakter
pada masa Orde Lama dan Orde Baru adalah politis. Pendidikan karakter hanyalah
kemasan yang substansinya bukan pembentukan karakter dalam arti internalisasi
dan karakterisasi nilai-nilai kemanusiaan universal. Oleh karan itu, hasilnya
adalah anak bangsa yang tidak berkarakter.
Agar tidak terjerumus pada kesalahan
yang sama, pendidikan karakter saat ini hendaknya berpijak dasar filosofis dan
konsepsi tentang pendidikan karakter itu sendiri, tidak dikaitkan dengan agenda
politik terselubung sebagaimana zaman Orde Lama dan Orde Baru. Substansi
pendidikan karakter adalah membentuk peserta didik dan bangsa berperilaku
sesuai dengan nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan universal dalam konteks
lokal Indonesia. Oleh karena itu, tujuannya bukan sekedar mengembangkan potensi
karakter tapi benar-benar membentuk karakter. Dasar filosofis dan konsepsinya
kemudian diimplementasikan dalam model pembelajaran dan asesmen yang tepat,
tidak misleading dan tidak valid.
Berikut adalah inspirasi untuk
pendidikan karakter yang saya gubah dari Dorothy Low Noite dalam Children Learn What They Live With.
Jika
anak dicela
ia
belajar memaki
Jika
anak dimusuhi
ia
belajar berkelahi
Jika
anak dibenci
ia
belajar memusuhi
Jika
anak dicemooh
ia
belajar rendah diri
Jika
anak dicurigai
ia
belajar jadi pengecut
Jika
anak diancam
ia
belajar jadi penakut
Jika
anak ditakut-takuti
ia
belajar jadi orang kerdil
Jika
anak selalu dilarang
ia
belajar ketakutan
Jika
anak didorong
ia
belajar percaya diri
Jika
anak dipercaya
ia
belajar kejujuran
Jika
anak dihargai
ia
belajar mengembangkan diri
Jika anak dididik dengan sebaik-baik
perlakuan
ia belajar keadilan
Jika anak dididik dengan kasih sayang dan
persahabatan
ia belajar menemukan kehidupan penuh cinta
kasih
.... karena anak adalah permata
yang
harus diasah, asuh, asih dg sepenuh hati
BAHAN BACAAN
Departemen
Penerangan RI. 1961. Tujuh Bahan Pokok
Indoktrinasi. Jakarta: Departemen Penerangan RI
James
Arthur. 2003. Education with Character.
London: Routledge
Kementerian
Pendidikan Nasional. 2010. Pengembangan
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kemendiknas Balitbang Pusat
Kurikulum.
Kementerian
Pendidikan Nasional. 2011. Pedoman
Pelaksanaan Pendidikan Karakter
(Berdasarkan Pengalaman di Satuan Pendidikan Rintisan). Jakarta:
Kemendiknas Balitbang Pusat Kurikulum dan Perbukuan
Larry
P. Nucci dan Darcia Narvaez. 2008. Handbook
of Moral and Character Education. New York: Routledge
Oetojo Usman dan Alfian (Penyunting). 1990. Pancasila sebagai Ideologi. Jakarta:
BP-7 Pusat.
Suparlan. Pendidikan Karakter. Dalam www.suparlan.com, diunduh pada 13 November 2011
The
Liang Gie. 2001. Etika Administrasi Pemerintahan. Jakarta: Pusat Penerbitan
Universitas Terbuka
United Nation Development Programme, 2011.
Udin
Saripudin Winataputra. 2010. Implementasi Kebijakan Nasional Pembangunan
Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Karakter (Konsep, Kebijakan, dan Kerangka
Programatik). Makalah.
Boyd, Barry L., et al.
Measuring
Learning In The Affective Domain Using Reflective
Undang-Undang
Nomor 4 tahun 1950, tentang Dasar-Dasar
Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, Jakarta: Departemen PP dan K
Undang-Undang
Nomor 2 tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Depdikbud
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Depdiknas
Peraturan
Pemerintah RI, Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
Jakarta: Depdiknas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 2007, Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025, Jakarta: Sekretariat
Negara