BAGAIMANA MENCETAK GURU
PROFESIONAL?
Oleh DR. Hanif Nurcholis, M.Si[1]
UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen menetapkan jabatan guru
sebagai pendidik profesional, setingkat dokter, apoteker, lawyer, dan lain-lain. Dilihat dari kompetensinya terdapat empat peringkat
kompetensi guru: profesional, tukang ngajar, juru ngajar, dan pramu bahan ajar.
Tukang bekerja mengikuti pola/ model tertentu
yang sudah dihafal. Juru bekerja berdasarkan petunjuk atasan untuk mengerjakan pekerjaan
teknis. Pramu bekerja berdasarkan perintah atasan untuk menyajikan sesuatu.
Sedangkan profesional bekerja berdasarkan lima prinsip kerja profesi: 1)
disiplin ilmu yang diperoleh saat mengikuti pendidikan, 2) pelatihan profesi,
3) pengalaman yang panjang dalam melaksanakan tugas profesi, 4) pengembangan
profesi melalui forum-forum ilmiah, dan 5) berperilaku sesuai kode etik
profesinya.
Jadi, Guru yang mengajar dengan mengikuti
pola/ model yang dihafal, ini tukang mengajar. Guru yang mengajar berdasarkan
juklak/ juknis atasan, ini juru ngajar. Guru yang mengajar sekedar menyampaikan
bahan ajar yang diperintahkan atasannya, ini pramu bahan ajar. Sedangkan Guru
profesional adalah guru yang sangat ahli mengembangkan dan mengimplementasikan
model pembelajaan yang bermutu dengan berpijak pada lima prinsip kerja profesi tersebut
secara mandiri. Cara kerjanya seperti dokter. Dalam bekerja, dokter tidak
berdasarkan model/pola tertentu, juklak/juknis, atau perintah direktur rumah
sakitnya tapi berdasarkan lima prinsip kerja profesi tersebut secara
mandiri.
Bagaimana kompetensi profesional guru Indonesia?
Meskipun saat ini sudah banyak guru yang lulus sertifikasi tapi gambaran komptensi
profesional guru saat ini adalah sebagai berikut. Sebagian besar guru bingung
ketika diminta mengembangkan Standar Isi dan SKL 2006 menjadi kurikulum
operasional/ kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Sebagian besar guru terkaget-kaget
ketika diminta mempraktikkan model pembelajaran kreatif-inovatif seperti example non example, picturre and picture,
numbered heads together, jigsaw, problem based introduction, dan lain-lain karena hanya mahir menggunakan dua
metode: ceramah dan tugas/PR. Sebagian besar guru tidak mengerti menggunakan
penilaian autentik, authentic assessment,
dalam penilaian KTSP: portofolio, produk, kinerja, proyek, dan pengamatan
disertai rubriknya, karena hanya tahu teknik tes obyektif untuk semua
kompetensi dasar (KD). Dan sebagian besar guru menyerah ketika diminta membuat
karya ilmiah. Padahal semua itu adalah pekerjaan pokoknya.
Gambaran komptensi guru seperti itu menunjukkan
bahwa guru kita jauh dari profesional. Peringkat komptensi mereka antara tukang
- pramu. The World Competitiveness Score
Board melaporkan bahwa peringkat
kualitas guru Indonesia berada pada urutan ke-59 dengan score 33,81 sedangkan
Malaysia pada peringkat ke-28 dengan score 65,88. Hal tersebut paralel dengan
hasil tes umum untuk guru TK/SD rata-rata 34,26 sedangkan di luar guru TK/SD
rata-rata 40,15 dan khusus untuk nilai matematika dan sains rata-rata
13,24-22,33 (Kompas, 27-10-2009).
Meskipun demikian, guru tidak bisa disalahkan!
Mereka adalah korban kebijakan pemerintah. Pemerintah mencetak guru melalui
LPTK. Pemerintah tidak menyiapkan LPTK sebagai lembaga pencetak guru profesional.
LPTK disiapkan untuk mencetak tukang ngajar, juru ngajar, atau pramu bahan ajar saja. Hal
ini terlihat dari kurikulum dan model pembelajarannya. Kurikulum LPTK sarat
didaktik-metodik, kosong subject matter.
Model pembelajarannya hanya hafalan konsep dan teori didaktik-metodik. Mahasiswa
pendidikan IPA S1 misalnya, tidak diberi materi sains level sarjana tapi hanya
diberi materi metode mengajar IPA SMP/SMA/SMK dengan content sains IPA level SMA/SMP/SMK pula. Dengan demikian, mahasiswa
tersebut ilmu sainsnya tak bertambah: sama dengan waktu duduk di SMA/SMK. Ia hanya
mendapat tambahan ilmu metode pengajaran sains. Kemudian model penilaiannya
tidak dengan teknik authentic assessment
tapi dengan pencil and paper test yang
hanya mengukur tingkat hafalan konsep dan teori didaktik-metodik, bukan
mengukur kompetensi implementasi didaktik-metodik.
Mahasiswa memang diwajibkan praktik mengajar
tapi praktikum ini asal-asalan saja karena tidak disupervisi dan dinilai oleh
asesor profesional. Praktikum diserahkan sepenuhnya kepada guru pamong yang
dicomot dari guru tempat praktikum. Hal ini
sangat jauh berbeda dengan mahasiswa kedokteran yang melakukan co-ass.
Mahasiswa kedokteran yang co-ass
benar-benar diuji kompetensi profesi dokternya dengan penilaian berbasis
kompetensi dokter dengan indikator-indikator terukur oleh asesor profesional.
Dengan kurikulum dan model pembelajaran LPTK seperti
ini sudah dapat ditebak bahwa lulusannya tidak mampu mengembangkan dan
mengimplementasikan model pembelajaran yang bermutu karena dua hal: 1)
penguasaan materinya hanya selevel SMA/SMK dan 2) ilmu metodiknya tidak
fungsional karena tidak kompeten mengimplementasikannya. Umumnya lulusannya mengajar
dengan penguasaan materi pas-pasan dan dengan metode mengajar konvensional turun
temurun yang diperoleh dari pengalamannya ketika sekolah dulu, bukan
berdasarkan ilmu didaktik-metodik yang diperoleh di bangku kuliah. Mereka kalah
hebat dengan instruktur bimbingan belajar alumni non LPTK.
Sesuai dengan amanat UU No. 20/2003 tentang
Sisdiknas guru dicetak dalam lembaga pendidikan profesi guru (PPG). Untuk itu, Pemerintah
jangan hanya megganti LPTK lama dengan baju baru PPG. Pemerintah harus benar-benar
menyiapkan PPG sebagai pencetak guru profesional yang berbeda secara
substansial dengan LPTK.
Untuk menjadikan PPG sebagai pencetak guru
profesional maka pemerintah harus menetapkan dua hal: 1) persyaratan mahasiswa dan
2) kurikulum dan model pembelajaran. Mahasiswa harus diambil dari sarjana (S1)
ilmu murni dengan seleksi yang ketat. Sedangkan kurikulum dan model
pembelajarannya harus berbasis kompetensi profesi guru. Jangan berbasis materi
keguruan dan kependidikan seperti di LPTK saat ini. Proses pembelajarannya
harus berupa pemberian pengalaman belajar berdasarkan ilmu didaktik-metodik,
bukan disuruh menghafal konsep dan teori didaktik-metodik. Kemudian asesmennya
jangan hanya dengan model paper and
pencil test dan pengamatan ala kadarnya oleh guru pamong saat praktik
mengajar tapi harus dengan uji kompetensi profesi guru dengan teknik penilaian
produk dan kinerja oleh asesor profesional. Jadi, persis seperti calon dokter
yang co-ass.
Selanjutnya PPG hanya memberikan sertifikat profesi guru kepada
mahasiswa yang lulus uji kompetensi profesi guru yang dilakukan oleh asesor
profesional secara ketat seperti calon dokter yang diuji oleh dokter senior
yang juga dosen saat co-ass. Jika demikian cara Pemerintah menyiapkan PPG
maka akan lahir guru profesional di negeri tercinta.
saya sangat setuju pak...soalnya kebanyakan guru hanya mengandalkan cara mengajar saja tapi pada dasarnya kebanyakan tidak tahu materi yang diajarkan...alhasil siswa diajak untuk membaca dan menghafal saja...sehingga siswa tidak paham sepenuhnya materi yang disampaikan...
BalasHapus